Siapa yang tidak kenal / pernah mendengar nama Gus Dur dan Gus Mus ? :D
Mungkin bagi yang "Islam KTP" seperti saya, wkwkw , nama mereka jarang sekali masuk telinga. Saya saja baru tau ini ada yang nama nya Gus Mus :p , tapi meski belum mengerti agama secara mendalam (Baca: Masih level Playgroup) :ngakak , jalan mereka mudah saya pahami.
Silakan, monggo disimak beritanya :D
Presiden Republik Indonesia ke-4 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
dan pengasuh Ponpes Raudhatut Thalibin Rembang Jawa Tengah KH. Ahmad
Mustofa Bisri (Gus Mus) didaulat menjadi narasumber pada peringatan
Harlah NU ke-82 bertema Sufi dan Toleransi di Indonesia, yang
diselenggarakan the WAHID Institute di Kantor the WAHID Institute Jl.
Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta, Senin (28/01/2008) .
Pada acara yang dipandu Direktur Eksekutif the WAHID Institute Ahmad
Suaedy ini, tampak hadir mantan juru bicara Gus Dur Adhie M Massardi,
penyanyi Franky Sahilatua, Sekjen DPP PKB Yenny Wahid, anggota FKB
Badriyah Fayumi, dan aktivis HAM MM Billah. Tampak juga aktivis dari
berbagai agama dan lembaga sosial.
Dalam orasinya, Gus Dur mengingatkan, Islam mengajarkan toleransi dan
memberi penghargaan yang tinggi kepada umat agama lain. Ini, antara
lain, didasarkan pada Qs. al- Kafirun: 6:lakum dinukum waliya din/bagi
kalian agama kalian dan bagiku agamaku.”Ini kata Tuhan, bukan
siapa-siapa, ” tegasnya.
Menurut Gus Dur, keberagaman agama-agama itu telah ada sejak dahulu
kala, yang karenanya tidak seharusnya diseragamkan. Yang terpenting
untuk menyikapinya, imbuh Gus Dur, adalah seperti yang diajarkan Empu
Tantular 8 abad silam pada masa awal Kerajaan Majapahit, yaitu bhinneka
tunggal ika/berbeda- beda tetap satu jua.
“Ini yang harus kita pegangi. Jangan mencari perbedaannya, tapi carilah persamaannya, ” pesannya.
Karena itu, menurut Gus Dur, apa yang dilakukan kelompok Islam keras
dengan menuntut penyeragaman, itu tidak bisa dibenarkan. “Saya rasa,
saya sependapat bahwa semuanya ini terjadi karena mereka nggak paham
ajaran agama,” tuturnya.
Gus Dur lantas mengaitkan ketidakpahaman pada ajaran agama ini dengan
keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 1986, yang mengharamkan
kaum muslim mengucapkan selamat natal pada orang Kristen. Hingga kini,
Gus Dur mengaku tidak mengerti apa landasan MUI mengeluarkan keputusan
demikian.
“MUI bilang, orang Kristen percaya Nabi Isa itu Tuhan. Itu kan urusan
mereka. Masak kita ngurusin itu. Simpel to?,” kata Gus Dur. “al-Qur’an
sendiri kan bilang salamun ‘alaihi yauma wulid (mudah-mudahan kedamaian
atas Jesus pada hari kelahirannya) . Wong al-Qur’annya saja membolehkan,
kok manusianya melarang,” imbuhnya.
Gus Dur juga mengritik kelompok Islam tertentu yang begitu mudahnya
mencap kafir kelompok Nasrani dan Yahudi. Jika al-Qur’an menyebut kata
kafir, kata Gus Dur, itu tidak diarahkan pada Nasrani maupun Yahudi,
karena mereka memiliki julukan khusus ahlu al- kitab. Karenanya, yang
dikatakan kafir itu tak lain musyrik Makkah, yang menyekutukan Tuhan.
“Baca gitu aja nggak bisa, ya repot,” katanya.
Pembicara lain, budayawan KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus)
menyatakan, Islam yang ngotot atau Islam pethenthengan, itu muncul dari
kota, bukan dari desa. Karena lumrahnya, orang-orang desalah yang masih
setia merawat Islam yang toleran, tengah-tengah dan yang tidak ngotot.
“Ini yang bikin saya bangga dengan desa. Ini menurut pengamatan saya
yang agak lama. Mungkin saya salah,” katanya tawadhu’.
Ia juga menyatakan, buku-buku karya Abu al-A’la Maududi, Sayyid
Qutub, Hasan al-Banna dan sebagainya, kebanyakan diterjemahkan orang
kota. “Saya ndak melihat dari kalangan ndeso atau pesantren yang
menerjemahkan buku-buku ini,” ujarnya.
Dan memang, diakui Gus Mus, kini semangat keberagamaan yang
berlebihan justru muncul dari kota. Semisal Kota Jakarta, Bandung, Solo
dan sebagainya. Karena demikian menggebu- gebunya dalam beragama,
katanya, akhirnya timbul Islam yang ngotot atau pethenthengan itu.
“Kalau nggak begini, nggak sesuai mereka, pokoknya jahannam,” katanya.
Gus Mus menyayangkan semangat orang kota ini, karena acapkali
kengototan itu tak dibarengi dengan ketekunan belajar agama. Akhirnya,
imbuhnya, terjadi ketidakseimbangan antara semangat keberagamaan dengan
pemahamannya terhadap ajaran agama. “Repotnya, lalu mereka merasa
seolah-olah mendapat mandat dari Gusti Allah untuk mengatur orang di
dunia ini,” kritiknya.
Mertua mantan koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil
Abshar-Abdalla ini juga mengritik perilaku anarkis kelompok Islam
tertentu atas kelompok lain yang berbeda, dengan alasan supaya mereka
dicintai Allah SWT. Mereka ini, kata Gus Mus, sesungguhnya belum
mengenal Allah SWT, karena Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Kasih dan
Sayang atas hamba-hamba- Nya.
“Orang yang tidak kenal Gusti Allah tapi ingin menyenangkan- Nya,
salah-salah malah mendapat marah-Nya. Jadi tidak logis ada orang mau
menyenangkan Allah SWT, tapi tidak mengenal-Nya, ” tegas Gus Mus.
Inilah sejatinya, kata Gus Mus, kelompok Islam yang ngaji agamanya
tidak tutug alias tidak tuntas. Mereka baru belajar bab al-ghadhab
(pasal marah), lantas berhenti mengaji. Dan mereka mengira ajaran Islam
hanya sependek itu. Efeknya, ke mana-mana bawaan mereka marah melulu.
Padahal, masih ada bab selanjutnya tentang tawadhu’, sabar, dan
seterusnya. Mereka inilah yang menjadi masalah, karena siapapun yang
berbeda pasti akan disalahkan dan disesatkan.
“Dan sikap pethenthengan ini yang menjadi awal tidak adanya
toleransi. Karena pethenthengan juga, kadang orang yang beragama
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agamanya secara tidak
sadar.
Tapi kalau dasarnya cinta, seperti kaum sufi, itu nggak ada pethenthengan, ” ujarnya.
Untuk itu, Gus Mus berpesan, hendaknya kaum muslim belajar terus
tanpa henti. Dan berfikirlah segila mungkin, toh ayat al-Qur’an yang
menyuruh berfikir itu sama banyaknya dengan ayat al-Qur’an yang menyuruh
untuk berzikir. “Jadi, jangan pasang plang dulu ‘saya wakil Pengeran’.
Tapi pelajari dulu yang dalam. Kalau tidak, alih-alih dicintai Allah
SWT, tapi malah dibenci-Nya, ” katanya mengingatkan.
“Jika dimintai pendapat oleh Bakorpakem soal Ahmadiyah, apa yang akan
Gus Mus sampaikan?” tanya aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL),
Novriantoni Kahar.
Dengan kesantaian khas kiai pesantren, Gus Mus mengatakan dirinya
tidak akan ngomong apa-apa soal Ahmadiyah, karena Bakorpakem belum
memintai pendapatnya. “Nanti saja kalau sudah ditanya Bakorpakem,”
katanya disambut tawa hadirin.
Penulis buku Membuka Pintu Langit (Kompas: 2007) ini lantas mengritik
perilaku kelompok Islam tertentu yang gemar merusak properti milik
Jemaah Ahmadiyah atau memukuli jemaahnya, karena menganggap mereka
sesat. Gus Mus menamsilkan, ada orang yang hendak pergi ke Jakarta lalu
berhenti di Rembang Jawa Tengah. Ia lantas berjalan terus ke arah
Surabaya. “Mau ke mana?” tanya Gus Mus. “Mau ke Jakarta!” jawab orang
itu. “Saya lalu bilang, mau ke Jakarta kok ke timur? Berarti kamu ini
salah alias sesat. Ya, saya tempeleng saja. Apa begini caranya? Cara ini
kan nggak bener dan lucu,” kata Gus Mus heran.
Ini terjadi, kata Gus Mus, tak lain karena orang belajar ajaran
agamanya tidak tutug atau tuntas. “Baru sarjana muda leren (selesai),
lalu merasa sudah S3,” sindirnya.[nhm] Allahu’alam.